Latest update January 29th, 2018 5:48 PM
Home » Wiraswasta » Bisnis Klappertaart
Oct 19, 2015 admin Wiraswasta 0
Klapertaart merupakan kue khas Manado yang berbahan dasar kelapa, tepung terigu, susu, mentega, telur, dan sedikit rum. Resep adonan tersebut merupakan pengaruh saat zaman pendudukan Belanda di Manado. Di Indonesia, sudah banyak pemain di bisnis kuliner yang menyajikan menu klapertaart. Pemainnya tak melulu orang Manado. Salah satunya, ada Dian Kusumaning Tyas, perempuan kelahiran Denpasar yang besar di Surabaya. Ide mendirikan bisnis klapertaart ala Dian boleh di-bilang tidak direncakan.
Awalnya, pada 2008, ia membuat Klappertaart untuk kawan-kawannya dari Surabaya yang hendak berkunjung ke rumahnya. “Saya bingung hendak menyajikan apa. Di rumah, mixer sedang rusak. Akhirnya, saya bikin Klapertaart karena tak perlu menggunakan mixer,” jelasnya. Ia juga tak menambahkan putih telur dan rum ke dalam adonan. Tidak disangka respon dari teman-temannya cukup bagus, bahkan sebagian dari mereka menyarankan Dian untuk dijual. “Waktu itu, saya belum percaya diri untuk membisniskan klapertaart tanpa putih telur dan rum ala saya,” kenang Sarjana Teknik Sipil Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya ini.
Menurutnya, masih banyak yang harus dipelajari untuk mendapatkan resep dan teknik terbaik dalam pembuatan klapertaart. Belum lagi, Dian sendiri tak begitu suka dengan Klapertaart yang selama ini banyak beredar di pasar. Temyata, kendati Dian masih enggan membisniskan klapertaart tanpa putih telur dan rum itu, kawan-kawannya justru berinisiatif memasarkan kue buatan Dian. Mereka mulai menceritakan kedansyatan Klapertaart buatan Dian di berbagai forum dan akun jejaring sosial. “Bahkan, mereka melengkapinya dengan foto. Katanya, `no pic = hoax’,” kata Dian, terbahak. Tak cuma itu, kawan-kawan Dian ada yang memasarkan bisnis klapertaart di sebuah BlackBerry Group (BBG) dan Broadcast Message (BM), tanpa sepengetahuannya. “Pagi itu banyak yang meng-invite PIN BB saya. Di tengah keheranan nerima invitasi mereka, semua orang yang meminta berteman itu ingin memesan klapertaart. Makin heran lah saya,” kenang dia. Usut punya usut, Dian pun alchimya mengetahui bahwa Ali Akbar, pemilik Bisma Center sekaligus salah satu kawan Dian, yang mem-BM bisnisnya.
Singkat cerita, bisnis klapertaart Dian pun makin sering mendapatkan pesanan. Namun, ia pernah mendapatkan protes karena klapertaart buatan Dian tidak seperti klapertaart Manado yang memakai putih telur dan rum. Beberapa pihak memintanya untuk tidak menggunakan nama klapertaart karena dianggap tak memenuhi resep klapertaart. Tak patah akal, Dian pun mengubah tagline De ‘ Klappie, dari sebelumnya “Halal, Tasty, and D’ licious” menjadi “Bulcan Klapertaart”.
Adanya kritikan tersebut tidak meredupkan bisnis Dian. Justru hal ini membuat perempuan berkerudung ini makin kreatif dalam urusan pemasaran produk. Embelembel “Bukan Klapertaart” ini yang membuat diferensiasi produk Dian di antara produk lain.
Pada sekitar 2010, Dian pun memutuskan bergabung dengan komunitas Tangan Di Atas (TDA). Ia merasa harus bergabung dengan komunitas bisnis agar pengetahuan dan kemampuan bisnisnya makin baik. Maldum, sebelumnya tak pernah ada niatan untuk membisniskan hobi memasaknya. Baru setahun kemudian, Dian makin serius dalam menjalankan bisnis. “Saya mulai memikirkan untuk membuat logo, boks, mempekerjakan karyawan, dan menerima pesan antax,” kata istri Beni Agus Permana ini.
Dian mengaku mendapatkan dukungan dari keluarga dan teman-teman saat mewujudkan ide bisnis ini. Kurang dari satu tahun dari sekadar ide bisnis menjadi sebuah bisnis, menurut Dian, merupakan waktu yang singkat. Ketika mengawali bisnis, ia mengaku mengeluarkan modal Rp2,2 juta untuk membeli oven dan bahan baku, seperti kelapa, tepung terigu, tepung tapioka, telur, dan sebagainya. “Modal itu saya dapat dari suami. Istilahnya, utang sama suarni,” aku dia, tertawa.
Untuk pemasaran, Dian sangat memaksimalkan gadget BlackBeny. Melalui BBG dan BM, Dian banyak menerima pesanan untuk De’Klappie. “Sebenarnya saya hanya melanjutkan apa yg dilakukan teman-teman saya di awalnya,” jelas perempuan yang pemah bekerja di PT Surveyor Indonesia sebelum memutuskan resign untuk mengelola bisnis keluarga. Saat ini, Dian tengah fokus menggarap pemasaran De’Klappie melalui Twitter.
Sejauh ini, Dian mengaku ada beberapa tantangan yang ia hadapi dalan menjalaninya bisnisnya itu. Tantangan pertama adalah faktor harga. “Masih banyak yang menganggap produk De’Klappie itu mahal,” kata Dian. Menurutnya, harga yang tinggi itu karena ia hanya menggunakan bahan baku terbaik. Oleh karena `keluhan’ mahal dari sebagian pihak, Dian pun akhirnya fokus melayani segmen menengah atas yang tidak sensitif harga namun mementingkan kualitas dan pelayanan terbaik.
Dian mematok produknya dari kisaran Rp5.000 hingga Rp105.000. Tentu saja, harga termurah untuk produk dengan ukuran paling mini. Selain rasa original, klapertaart ala De’leappie juga tersedia dalam berbagai varian rasa, seperti cokelat, keju, dan durian. “Favorit konsumen adalah rasa keju dan durian,” jelas Dian, yang mengaku produknya merupakan makanan sehat karena menggunakan bahan baku tepung tapioka.
Tantangan kedua, faktor SDM. Ia pemah direpotkan dengan pesanan yang membeludak namun kurang orang untuk mengantarkan pesanan. “Ramadan 2010, saya mendapatkan order cukup banyak. Tapi, akhirnya tidak bisa maksimal karena tak punya kurir yang mengantarkan pesanan,” aku ibu empat anak ini. Kadang, Dian harus mengantarkan sendiri pesanan ke rumah pelanggan. “Kalau harus mengantarkan sendiri ke wilayah yang belum pemah saya kenal, saya suka keder,” kata Dian. Dari tantangan ini, Dian mendapatkan pembelajaran mengenai manajemen waktu dan SDM.
Tantangan ketiga, penjiplakan. Di awal pendirian bisnis, Dan mengaku bisnisnya pernah dijiplak oleh temannya sendiri. Komposisi bahan, brand, dan logo dijiplak habis habisan. “Saya merasa cukup terpukul dengan kejadian itu, tapi saya ambil hikmah positifnya saja,” katanya, tegar.
Kasus penjiplakan itu kemudian membuat Dian lebih hati¬hati dalam membagi resep rahasia, meski kepada kawan terdekat. Juga membuatnya lebih kreatif dan inovatif dalam berbisnis. “Mungkin, kalau produk saya tak dijiplak, takkan ada DeXlappie seperti saat ini,” imbuh dia. Saat ini, Dian tengah dalam proses pendaftaran bisnis di Ditjen HAKI. Selain itu, ia ingin memakai batok kelapa sebagai kemasan produk agar lebih rarnah lingkungan.
Bisnis yang dikerjakan di dapur rumah Dian mampu memberikan penghasilan tambahan Rp9 juta per bulan. Ia menargetkan omzet akan terus berkembang di kemudian hari. Ke depan, ia ingin mendirikan gerai di bandara Soekamo Hatta. Sebab, menurutnya De’Klappie berpotensi untuk dijadilcan oleh-oleh khas Jakarta. “Gerai di bandara akan memudahkan saya untuk mendistribusikan produk. Selama ini, saya se-ring ke bandara untuk men-gantarkan pesanan konsumen yang akan pergi ke luar kota atau luar negeri sesaat sebelum mereka take off” j elasnya, me¬nutup pembicaraan
Jan 29, 2018 0
Aug 20, 2015 0
Aug 21, 2015 0
Aug 24, 2015 0
Aug 25, 2015 0
Aug 26, 2015 0
Jan 29, 2018 0
Jan 29, 2018 0
Jan 26, 2018 0
Jan 24, 2018 0
Jan 21, 2018 0
Jan 20, 2018 0
Nov 30, 2017 0
Bisnis Iklan di Mobil – Kegigihan I Gede Rio Harta...Sep 13, 2017 0
Bisnis Wisata Online Tripdixi – Tripdixi mulai...Aug 04, 2017 0
Technopreneur di Bidang Big Data – Menjadi eksekutif...Jul 14, 2017 0
Bisnis Nada Panggil Pribadi – Bisnis RBT marak karena...Jun 29, 2017 0
Perkembangan Bisnis Game Online – Bisnis game online...Nov 07, 2017 0
Sepak Terjang Iwan Bomba Dalam Membangun Bisnis –...Nov 07, 2017 0
Menghasilkan Rupiah Bisnis di Instagram – Bisnis...Nov 01, 2017 0
Investasi Untuk Pemula – Sejak memiliki penghasilan,...Oct 31, 2017 0
Produk Wajib Dimiiki Setelah Menikah – Salah satu...Oct 27, 2017 0
Mengatur Keuangan Untuk Single Parent – Dalam...